'Sreuk' di Empat Februari

Daftar Isi artikel ini [Tampil]
Nocaption needed.

Empat Februari telah datang lagi.

Seperti halnya tulisan beberapa tahun lalu, gue sepertinya ingin untuk kembali menuliskan postingan khusus ulang tahun. Sebagai sebuah landmark dimana gue bisa melewati sebuah angka duapuluh dua.

Empat Februari dua ribu tujuh belas.

Gue lagi fokus di dalam kamar sambil baca buku setebal 600 halaman kurang sedikit. Sebelumnya gue nggak pernah sesemangat ini dalam mencari ilmu, apalagi baca.

Sebuah buku Islam, yang mengatur tentang kehidupan manusia sesuai Al-quran dan As-sunnah, gue dapetin  buku ini dari rekomendasi keluarga dia.
“Pak, apa yang bikin bapak pengen menikah dulu sama mamah?”
Gue langsung keluar kamar dan menanyakan hal itu kepada bapak, ketika gue lagi baca, random memang. Tapi gue punya alasan tersendiri.

Sejak hari itu, hubungan kami memang seakan menjadi memiliki banyak waktu untuk mengobrol daripada dulu. Keadaan sekarang yang memaksa gue dan bapak menjadi memiliki “father and son conversation”.

Jujur aja deh.

Kapan terakhir kali kita benar-benar mengobrol dengan orang tua kita? Sekedar memberikan perhatian kecil kepada mereka. Menanyakan kesehatan mereka. Atau membahas hal-hal santai yang sebenernya pengen kita tanyakan tetapi terhalang dengan sejumlah kesibukkan yang kita buat sendiri.

Pasti udah lumayan lama kan?

Dan kini gue memberanikan bertanya seperti itu.
“Kenapa nanya gitu a?” tanya bapak yang sedikit membuka kelopak matanya nunjukin reaksi keheranan.
Dia sepertinya tidak siap kalau rahasianya dibongkar anak lelaki tertuanya.
“Ya gpp, pengen tau aja pak.”

“Waktu itu bapak cuman ketemu beberapa kali sama mamah, udah ‘sreuk’ aja bapak rasa. Aneh ya hehehe..”
Gue menatap wajah orang tua didepan gue ini. Dari semua anaknya, gue memang yang memiliki tingkat kemiripan 80% dengan bapak. Mulai fisik, perawakan ampe sikap. Hobi suka gambar bapak dulu mungkin cuma turun ke gue. Sampai gue bekerja di dunia gambar seperti sekarang ini.

Tapi bukanya kami nggak punya perbedaan, bapak dan gue dulu mempunyai pandangan politik yang cukup berbeda. Gue dukung Prabowo karena karakternya, dia Jokowi karena sederhananya. Tapi semenjak kasus ahok menyeruak, bapak jadi berfikir lagi buat menyukai partai berlambang banteng itu.

Tapi ya begitulah, keluarga gue dibiasakan dengan perbedaan pendapat dan kebebasan berpikir. Itu semua diajarkan bapak ke semua anak-anaknya. Meskipun kadang gue harus kenyang mendengarkan teori bapak tentang Prabowo dan masa lalunya.
“Jadi waktu bapak lagi kerja di SMP Pasirjambu. Diundang makan di rumahnya Pak Bandi” bapak memulai cerita
Gue mendadak jadi pendengar cermat.
“Bapak kan anak buahnya Pak Bandi, Kepsek SMP Pasirjambu. Jadi pas di rumahnya Pak Bandi. 
Disitulah bapak dikenalkan ke mamah ‘Siapa tuh putih manis’ hehehe”
Imut.
Gue mulai berfikir liar, membayangkan situasinya waktu itu, bapak dengan celana katun dan rambut ikal khas remaja tahun 90an. Berkenalan dengan mamah berkulit putih langsing. Mirip film india.
“Kenapa aa tanya begitu?”

“Ya pengen tau aja pak. Aa kan sekarang udah 22 tahun juga udah ada niatan pengen menikah di tahun ini, jadi pengen tau aja pandangan dari bapak sendiri.”

“Bapak dulu nggak ada pacaran-pacaran dulu, pas bapak merasa ‘sreuk’ sama mamah, dua minggu kemudian bapak langsung minta Pak Bandi untuk nganter ke rumah kakek, sekaligus ngutarain niat bapak buat ngelamar mamah.”
Gue bengong dengan cara bapak gue dulu.
“Nah setelah lamaran diterima, tiga minggu selanjutnya bapak melangsungkan akad dan resepsi nikah hehehe..”
“Serius pak? Secepat itu?!” Gue takjub dengerin rahasia bapak.

“Iya. Bapak rasa udah ‘sreuk’ langsung bapak ikat aja mamah. Nggak ada pacar-pacaran dulu. Lagi pula Islam melarangkan a, hehehe...”

“I..Iya pak..” Gue mengangguk setuju.
Setelah itu, gue kembali ke kamar dan mulai memikirkan kata-kata bapak.

Kadang gitu ya? Hal-hal yang pengen kita tau, malah semakin nggak jelas ketika kita udah nanyain langsung ke orang yang terlibat.

‘Sreuk’ , tiga kali bertemu langsung nikah? Definisi apaan itu?!

Tapi dalam hati gue bagai terpacu, buat ngikutin hal positif nya dari cara dulu, saat bapak menemukan cintanya.

Hhhhhhh.. Bapak keren, kesatria banget jiwanya.

Lamunan gue sedikit tersadar dengan adanya pesan baru yang masuk. Layar handphone yang awalnya gelap langsung nyala dengan sebuah pesan baru dari sebuah nama yang selama ini memang sering muncul disana. Gelang Kulit.
“Hai.. Gimana baca bukunya? Bisa dipahami kan?

“Ya, ini juga lagi baca kok. Kamu gimana? Udah nyampe bab berapa?” kata gue.

“Masih dituntut sih. Haha..
Oh iya, kata bapak dirumah kalo buku yang sekarang udah beres, dilanjut ke buku yang kedua yah. Siap? Maaf ya jangan menyerah!” balasnya ngasih tau.
“ohaha.. Siap!” Jawab gue semangat.
Seperti biasanya, kalo sudah percakapan seperti ini, pasti akan berlangsung nggak sebentar. Hampir puluhan balasan sampai pembicaraan kami mereda. Dan entah kenapa, muncul sesuatu yang aneh setiap kali menyudahi chat kami.

Selalu ada rasa nyaman saat seperti ini.

Seketika gue teringat kisah bapak.

Apakah ini yang mungkin dibilang bapak tadi?

‘Sreuk?’

------------------------------------------------------------------------------
Solat jauh lebih penting daripada baca blog ini!

Rekomendasi Untuk Kamu × +

Langganan segera, jangan sampai tertinggal postingan dari Jejakumurku. Yang berlangganan semoga murah rejeki aamiin.

Rekomendasi Untuk Kamu × +

2 Responses to "'Sreuk' di Empat Februari"

  1. Selalu gak bosen kalau baca tulisan tentang gelang kulit nih bang hehehe

    Keep Strong buat keduanyaa :D

    ReplyDelete

Kemon komen dong biar makin rame. Biar berasa ada yang baca sih wkwk

nb : yang mau komentar harus punya akun gmail.